Tetanus pada Anak
Materi
PENDAHULUAN
Secara klinis
ada 3 macam bentuk tetanus 2
DIAGNOSIS
BANDING
**Semoga bisa bermanfaat, dan tolong hargai hak cipta !!
TETANUS
Tetanus
adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi
sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman Clostridium tetani pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuscular dan saraf autonom. 1.
C.tetani
dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkonaminasi antara lain,
luka tusuk, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit
yang kronis, abortus, tali pusat, bahkan kadang-kadang luka tersebut hampir tak
terlihat. 2
Di
Negara berkembang seperti di Indonesia, angka kesakitan dan kematian dari
penyakit tetanus masih cukup tinggi. Golongan usia yang sering menderita
penyakit ini adalah bayi (26%). Di Indonesia, angka insidensi tetanus di daerah
perkotaan sekitar 6-7/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka di daerah pedesaan
angkanya lebih tinggi sekitar 2-3 kalinya yaitu 11-23/1000 kelahiran hidup
dengan jumlah kematian kira-kira 60.000 bayi setiap tahunnya.2
EPIDEMIOLOGI
Penyakit
ini menyerang seluruh dunia dengan angka kesakitan dan kematian yang masih
tinggi terutama di negara berkembang. Di Indonesia, angka insidensi tetanus di
daerah perkotaan sekitar 6-7/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka di daerah
pedesaan angkanya lebih tinggi sekitar 2-3 kalinya yaitu 11-23/1000 kelahiran
hidup dengan jumlah kematian kira-kira 60.000 bayi setiap tahunnya. Golongan
usia yang sering menderita penyakit ini adalah bayi (26%), disusul anak 5-9
tahun (19%), anak balita 1-4 tahun (15%), dan usia lebih 10 tahun (12%)3.
Angka kejadian tetanus lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dengan
perbandingan 3:1, akibat perbedaan aktivitas fisiknya2.
Tetanus
neonatal banyak terjadi di Negara berkembang, dimana para ibu hamil tidak
mendapat imunisasi tetanus disertai perawatan tali pusat yang tidak steril 4.
Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2015, dilaporkan 53 kasus tetanus
neonatorum dari 13 provinsi dengan jumlah meninggal 27 kasus. Gambaran kasus
menurut faktor resiko penolong persalinan,33 kasus (62%) ditolong oleh penolong
persalinan tradisional, misalnya dukun. Menurut cara perawatan tali pusat,
hanya 6 kasus (11%) yang dirawat menggunakan alcohol/iodium, sedangkan yang
lain menggunakan cara tradisional, lain-lain dan tidak diketahui. Menurut alat
yang digunakan untuk pemotongan tali pusat ditemukan 22 kasus (42%) menggunakan
gunting, 12 kasus (59%) menggunakan bamboo, dan sisanya menggunakan alat lain
atau tidak diketahui. Menurut status imunisasi sebanyak 32 kasus (60%) terjadi
pada kelompok yang tidak diimunisasi 5.
ETIOLOGI
Kuman
yang menghasilkan toksin adalah C.tetani,
kuman berbentuk batang yang lasing dengan ukuran panjang 2-5 mm dan lebar
0,3-0,5 mm termasuk gram positif dan bersifat anaerob. 2
Kuman
tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang bulat,
khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan dalam
air mendidih selama 4 jam dan obat antiseptik, tetapi mati dalam autoclaf bila
dipanaskan selama 15-20 menit pada suhu 121º C. Bila tidak kena cahaya, spora
dapat hidup di tanah berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun. Juga dapat
merupakan flora normal usus dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing,
tikus, ayam, dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam
keadaan anaerob dan kemudian berkembang biak.2
Bentuk
vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman tetanus
tumbuh subur pada suhu 37° C dalam media kaldu daging dan media agar darah.
Demikian_ pula dalam media bebas gula, karena kuman tetanus tidak dapat
memfermentasikan glukosa.
Kuman
tetanus tidak invasif, tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat
molekul 150.000 Dalton, larut dalam air. Labil pada panas dan cahaya, rusak
dengan enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering.
Tetanospasmin disebut juga neutotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan
dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas),
spasme otot dan kejang-kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel darah
merah. 2
PATOGENESIS
C.tetani
dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkonaminasi dengan debu,
tanah, tinja binatang dan pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain: luka tusuk (oleh besi, kaleng), luka bakar, luka
lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali
pusat, bahkan kadang-kadang luka tersebut hampir tak terlihat. 2
Bila
keadaan menguntungkan, yaitu tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai
anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrosis, lekosit yang mati, benda asing
spora berubah menjadi bentuk vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak
invasif. Bila dinding sel kuman lisis, dilepaskan eksotoksin yaitu tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai
saraf melalui dua cara :
1. Secara
lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung-ujung saraf perifer
atau motoric melalui aksis silindrik ke kornu anterior susunan saraf pust dan
susunan saraf perifer
2. Toksin
diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya ke
susunan saraf pusat.
Aktivitas
tetanospasmin pada motor end plate
akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma
motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa
spasme otot. Tetanospasmin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus
labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi
katekolamin dalam urin. Tetanospasmin yang terikat pada jaringan saraf sudah
tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.2
MANIFESTASI
KLINIK
Masa
inkubasi pada kasus tetanus bervariasi, pada anak-anak dan dewasa biasanya
berkisar 3-21hari, rata-rata 7 hari, sedangkan pada neonatorum hampir 90%
kasus, gejala awal muncul 3-14 hari setelah kelahiran 6. Makin lama
masa inkubasi, gejala yang timbul semakin ringan. Derajat berat penyakit selain
berdasarkan gejala klinis yang tampak juga diramalkan dari lama masa inkubasi
atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus,
kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan
tetanus yang sangat khas; yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua
kaki, fleksi pada telapak kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.1
1.
Tetanus umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering
dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka
seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi
gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis. Biasanya tetanus timbul secara
mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok
otot. Kekakuan otot terutama timbul pada rahang (trismus) dan leher (kaku
kuduk). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan menunjukkan trismus.
Dalam 24-48 jam, kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas.
Kekakuan otot rahang terutama otot Masseter menyebabkan mulut sukar dibuka,
sehingga penyakit ini juga disebut Lock Jaw. Selain kekakuan otot
Masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka tampak
meringis kesakitan yang disebut Rhisus Sardonicus (alis tertarik ke atas, sudut
mulut tertarik ke luar dan ke atas, bibir tertekan kuat pada gigi). Kekakuan
otot-otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher
dan tubuh sehingga memberikan gejala kaku kuduk sampai opistotonus 2.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum
tonik baik spontan maupun dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar, bunyi). Kejang
menyebabkan lengan fleksi dan aduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam
posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun terdapat nyeri yang
hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita tampak gelisah dan mudah
terangsang. Spasme otot_otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan
gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. 2
Retensi urine sering terjadi akibat spasme sfingter kandung
kemih. Kenaikan suhu badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas
tinggi sehingga harus hati-hati terhadap komplikasi atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu 2.
Pada kasus yang berat mudah terjadi aktivitas simpatis yang
berlebihan berupa takikardi, hipertensi yang labil, keringat banyak, panas yang
tinggi dan aritmia jantung. 2
Menurut berat ringannya, tetanus umum dapat dibagi atas 2:
1.
Tetanus ringan :
trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang.
2.
Tetanus sedang:
trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
3.
Tetanus berat :
trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
2. Tetanus
lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak terjadi, tetapi kurang
dipertimbangkan karena gambaran klinis yang tidak khas. Bentuk tetanus ini
berupa nyeri dan kekakuan otot-otot pada bagian proksimal dari tempat luka.
Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang-kadang
bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.2
3. Tetanus
sefalik
Merupakan salah satu
varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata,
kulit kepala, muka, telinga, leher, otitis media kronis dan kadang-kadang
akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain: nervus
III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri-sendiri ataupun
kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Tetanus
sefalik, dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosis bentuk
tetanus sefalik jelek. 2
Diagnosis
1.
Anamnesis
Pada
Bayi 7
-
Persalinan yang kurang
higienis terutama yang ditolong oleh tenaga nonmedis yang tidak terlatih
-
Perawatan tali pusat
yang tidak higienis, pemberian dan penambahan suatu zat pada tali pusat
-
Bayi sadar; sering
mengalami kekakuan (spasme), terutama bila terangsang atau tersentuh
-
Bayi malas minum
Pada
anak 2
-
Apakah dijumpai luka
tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang
-
Apakah pernah keluar
nanah dari telinga
-
Apakah menderita gigi
berlobang
-
Apakah sudah pernah
mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir
-
Selang waktu antara
timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan kejang yang
pertama (period of onset)
2. Pemeriksaan
fisis 7
-
Bayi sadar, terjadi
spasme otot berulang
-
Mulut mencucu seperti
mulut ikan (carper mouth)
-
Trismus (mulut sukar
dibuka)
-
Perut teraba keras
(perut papan)
-
Opistotonus (ada sela
antara punggung bayi dengan alas, saat bayi ditidurkan)
-
Tali pusat biasanya
kotor dan berbau
-
Anggota gerak spastik (boxing
position)
3. Pemeriksaan penunjang
2,7
Anmnesis dan gejala cukup khas sehingga
sering tidak diperlukan pemeriksaan penunjang kecuali dalam keadaan meragukan
untuk membuat diagnosis banding. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membedakan antara tetanus neonatorum dengan sepsis neonatal atau meningitis
adalah
-
Pemeriksaan darah
rutin, tidak ditemukan nilai-nilai spesifik. Hitung leukosit dapat normal atau
meningkat.
-
Pemeriksaan
mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrosis
kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Akan tetapi, hanya
30% kasus ditemukan C. tetani pada pemeriksaan mikrobiologi.
-
Pungsi lumbal,
pemeriksaan ini biasanya dalam batas normal, walaupun kadang-kadang didapatkan
tekanan yang mingkat akibat kontraksi otot.
-
Pemeriksaan elektroensefalogram
normal.
Diagnosis
Diagnosis tetanus
ditegakkan berdasarkan 2:
1. Riwayat
adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
2. Gejala
klinis
3. Penderita
biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Berikut Severitas
Tetanus Berdasarkan Klasifikasi Ablett 8
Grade 1 (ringan)
|
Trismus ringan,
spastisitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan respirasi, tidak ada
spasme, tidak ada disfagia
|
Grade 2 (sedang)
|
Trismus sedang,
rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respirasi sedang,
frekuensi pernapasan >30
|
Grade 3 (berat)
|
Trismus berat,
rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat, serangan apneu,
denyut nadi >120, frekuensi pernapasan >40
|
Grade 4 (sangat berat)
|
Grade
3 dengan
ketidakstabilan otonom berat
|
Pada kasus yang
samar perlu dipikirkan diagnosis banding 1,2
1.
Meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai
trismus, risus sardonikus, namun dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan
likour serebrospinal, yaitu jumlah sel dan kadar protein yang meningkat
sedangkan glukosa menurun.
2.
Tetani : tetani
disebabkan oleh karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dengan kadar kalsium dan
fosfat dalam serum rendah. Bentuk spasme otot yang khas secara klinis dijumpai
adanya spasme karpopedal dan biasanya laringospasme dan jarang dijumpai
trismus.
3.
Rabies : pada rabies
dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis
diketahui digigit binatang pada waktu endemic, selain itu trismus jarang
ditemukan dan kejang bersifat klonik.
4.
Tonsillitis berat,
biasanya pasien disertai panas tinggi dan trismus, tetapi tidak ada kejang.
5.
Trismus oleh karena
proses local, seperti mastoiditis, abses tonsilar, namun biasanya asimetris dan
dapat memberikan gejala kaku kuduk.
PENATALAKSANAAN
6,7
Medikamentosa
-
Pasang jalur IV dan
beri cairan dengan dosis rumatan
-
Atasi kejang dan
spasme
Pada neonatus: Beri
diazepam emulsi injeksi dengan dosis 0,1-0,3 mg/kg per kali secara intravena
secara perlahan selama 3-5 menit setiap 1-4 jam derajat spasme. Jika spasme
masih menetap, terapi dimulai dari pemberian infus kontinyu dengan syringe
pump: 0,1-0,5 mg/kg/jam (2,4 sampai 20mg/kg setiap 24 jam. Jika gejala masih
menetap dengan dosis 0,5 mg/kg/jam, dosis dapat dinaikkan 0,8mg/kg/jam.
Pada anak > 1 bulan dan dewasa :
diberikan diazepam solution secara injeksi intravena, dengan dosis yang sama.
·
Bila frekuensi napas kurang 30 kali per menit dan tidak tersedia
fasilitas tunjangan napas seperti ventilator, hentikan pemberian obat, meskipun
bayi masih mengalami spasme.
·
Bila bayi mengalami
henti napas selama spasme atau sianosis sentral setelah spasme, berikan oksigen
dengan kecepatan aliran sedang bila belum bernpas lakukan resusitasi, bila
tidak berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU
·
Pada kondisis
tertentu, mungkin diperlukan vencuronium dengan ventilasi mekanik untuk
mengontrol spasme.
Berikan
pada bayi dan anak:
·
Human tetanus immunoglobin 500 IU IM, bila tersedia, atau tetanus
antitoksin 5000 U IM. Pada pemberian antitoksin tetanus, sebelumnyaa dilakukan
tes kulit Tetanus toksoid 0,5 mL IM pada tempat yang berbeda dengan tempat
pemberian antitoksin.
·
Bila terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar
pangkal tali pusat, atau keluar nanah dari permukaaan tali pusat, atau bau
busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
Antibiotik 6
Medikamentosa
untuk menghambat produksi toksin diberikan lini pertama Metronidazole Intravena
( 30 menit, 60 menit pada neonatus) selama 7 hari.
Dosis
neonates:
·
0-7 hari: 15mg/kg pada
hari pertama, setelah 24 hari, 15mg/kg/hari dibagi 2 dosis
·
8 hari sampai
<1bulan dosis="" kg="" o:p="" sama="">1bulan>
·
8 hari sampai <1 bulan="">2kg) : 30 mg/kg/hari dibagi 2 dosis 1>
·
Anak > 1 bulan: 30
mg/kg/hari dibagi 3 dosis (maksimal 1,5 gram per hari)
·
Dewasa : 1,5 gram per
hari dibagi 3 dosis
Line kedua diberikan
Penisilin procain 100.000 U/kg/IV dosis tunggal selama 7-10 hari. Jika
hipersensitif terhadap penisilin, diberikan tetrasiklin 50 mg/kg/hari (untuk
anak > 8 tahun). Jika terdapat sepsis/ bronkopneumoni, diberikan antibiotic
yang sesuai.
Pada ibu pasien
·
Berikan
ibunya imunisasi tetanus toksoid 0.5 mL (untuk melindungi ibu dan bayi yang
dikandung berikutnya) dan minta datang kembali satu bulan kemudian untuk
pemberian dosis kedua 7.
Suportif 7
1.
Menjaga
jalan napas tetap bersih dan terbuka serta pemberian oksigen untuk mencegah
hipoksia otak yang berlanjut.
2.
Menjaga
kehangatan bayi
3.
Pasang
jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta tunjangan nutrisi adekuat
4.
Mengurangi
rangsang suara, cahaya maupun tindakan invasif untuk menghindari bangkitan
kejang pada penderita tetanus
5.
Pemberian
nutrisi bertahap, diutamakan ASI.
6.
Bila
memerlukan ventilator mekanik, maka harus dirujuk ke Rumah Sakit dengan
fasilitas Pelayanan Neonatal Level III yang tersedia fasilitas NICU
Tumbuh Kembang 7:
·
Pemantauan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan
sensorik dan motorik. Setiap adanya gangguan perkembangan, perubanhan tingkah
laku ataupun gejala neurologik, eksplorasi harus dilakukan dengan pemeriksaan
neurologis lengkap.
·
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin
tinggi risiko kerusakan pada otak dan berdampak pada terjanya kelainan
neurologik lanjut (misalnya palsi serebral dan retardasi mental).
KOMPLIKASI
2
1.
Pada saluran pernapasan
Spasme otot-otot
pernapasan dan otot laring serta seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Aktimulasi
sekresi saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sering
menyebabkan aspirasi pnemonia. Atelektasis dapat terjadi akibat obstruksi
sekret. Pneumotoraks dan emfisema mediastinal biasanya terjadi akibat trakeostomi.2
2.
Pada kardiovaskuler
Komplikasi
berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardi,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.2
3.
Pada tulang dan otot
Pada otot
karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada
tulang dapat terjadi fraktur kolumna vertebralis akibat kejang yang terus
menerus terutama pada anak dan orang dewasa. 2
4.
Komplikasi yang lain
·
Laserasi lidah akibat kejang
·
Dekubitus karena penderita berbaring pada satu posisi saja.
·
Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebarluas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat
komplikasi adalah: bronkopnemoni, cardiac arrest, septikemi,
dan pneumotoraks 2
I.
PROGNOSIS
Dipengaruhi
oleh beberapa fakor 2 :
1.
Masa inkubasi
Makin
panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya makin pendek
masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila masa inkubasi kurang dari
7 hari tergolong berat.
2.
Umur
Makin
muda umur penderita seperti pada neonatus, prognosisnya makin jelek.
3.
Period of
onset
Period
of onset adalah waktu antara timbulnya gejala
tetanus, misalnya trismus, sampai terjadinya kejang umum. Bila kurang dari 48
jam , prognosis jelek.
4.
Panas
Pada
tetanus tidak selalu ada febris. Jika terdapat hiperpireksia, prognosisnya
jelek.
5.
Pengobatan
Pengobatan
yang terlambat menyebabkan prognosis yang jelek.
6.
Ada tidaknya
komplikasi
7.
Frekuensi kejang
Semakin
sering kejang semakin jelek prognosisnya.
J. PREVENTIF 3,9,10
Tindakan
pencegahan terhadap kasus tetanus dapat dilakukan berupa
1. Imunisasi
dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali diproduksi pada
tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer selama perang dunia
II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed (aluminium salt
precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan
antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan
toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DaPT. Kombinasi toksoid
difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak
yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung
dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah
satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur
(WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan
kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui
yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT
minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama diberikan segera
pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan
hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat
diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan
berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat
diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan
atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima
oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya
telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis
TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh
bayi yang akan dilahirkan. 9 Imunisasi aktif dengan toksioid tetanus
memberikan perlindungan selama paling tidak 10 tahun 10.
2. Persalinan
yang bersih, persalinan dengan 3 bersih yaitu bersih tempat, alat, dan tangan
penolong persalinan, dengan memperhatikan saat pemotongan tali pusat 10
3. Perawatan
luka yang efektif
·
Semua luka harus
dibersihkan seluruhnya dengan mengangkat benda asing dan jaringan mati dengan
pemberian hydrogen perioksida (H2O2).3,10 Profilaksis
penisilin atau eritromisin untuk luka terkontaminasi atau terinfeksi dapat
mengurangi kemungkinan tetanus 10
·
Pasien yang trauma
harus dipertimbangkan untuk memberi imunisasi aktif atau pasif 10
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Soedarmo, S.P, dkk.
2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatric
Tropis. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
2.
Rampengan, T.H. 2006. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
3.
Widoyo. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.
4.
Pickering, L K, dkk.
2012. Red Book 2012 Report on the
Committee on Infectious Disease 29th Edition. Amerika: American
Academy of Pediatrics.
5.
Sekretariat Jendaral
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
6.
Gouzard, V, dkk. 2016.
Clinical Guidelines Diagnosis and
Treatment Manual for Curative Programmes in Hospitals and Dispensaries Guidance
for Prescribing. Paris: Medecins Sans Frontieres.
7.
Pudjiadi, A. H., dkk.
2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
8.
Laksmi, Komang Saraswita. 2014. Penatalaksanaan
Tetanus. Jurnal CDK-222/
Volume. 41 Nomor 11. Bali : Puskesmas Mendoyo
9.
Simanjuntak,
P. 2013. Penatalaksanaan Tetanus Pada
Pasien Anak, Medula,
Volume 1, Nomor 4. Lampung: Universitas Lampung.
10. Mandal
B. K., dkk. 2006. Lecture Note Penyakit
Infeksi. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Comments